Dari Tangan Kecilku
Oleh: Ana Raihan Putri
“Walaupun Anda tidak punya waktu, ketika Anda percaya dia
mampu, Anda telah membuka kesempatan besar untuknya, suatu kepercayaan kecil
membuka dunia baru untuknya, dunia yang lebih cerah, dunia yang dia bisa hidup
lebih bahagia.”
“Karena dia seorang miskin, bermimpipun dia
tidak berani.”
“Karena dia seorang miskin, mimpi buruk dalam tidurnya jauh
lebih indah dari kenyataan.”
Waktu aku kecil,
pada malam hari sebelum tidur, mimi pasti akan bercerita tentang kisah-kisah
nabi dan sesekali kisah-kisah binatang-binatang yang dilagendakan. Mimi bilang
itu agar kami punya mimpi yang indah, mimpi indah dalam tidur. Itu luar biasa,
aku selalu ingin punya alasan untuk tidur, agar aku bisa melihat mimpi, mana
tahu ada mimpi indah dan walaupun bermimpi buruk, aku tidak apa-apa, aku tidak
terluka dan tidak merasa sakit. Walau ada ketakutan, saat aku membuka mata, ada
kenyataan yang lebih sakit, sehingga kalaupun aku mimpi buruk, aku tidak
apa-apa karena itu bukan kenyataan yang bisa aku rasakan.
“Aku lebih suka tidur dari pada punya kenyataan. Karena aku
mungkin bisa punya mimpi indah.”
Waktu kecil, sebelum
aku TK, bermimpi untuk sebuah kenyataan bukanlah hal yang dengan mudah bisa aku
lakukan. Aku tidak pernah berpikir lebih baik, aku pikir karena ayah dan mimi
tidak punya uang, aku tidak akan bisa mewujudkan mimpiku, jika aku punya mimpi.
Karena itu aku memilih untuk tidak punya mimpi, maka aku tidak perlu bersedih
jika itu tidak terwujud dan tentu saja aku tidak akan repot untuk
memikirkannya.
Teman-teman
sepermainan semuanya punya mimpi, ingin jadi pilot, dokter, guru, presiden dan
sebagainya. Lalu, yang bisa aku lakukan hanyalah bermain. Bermain di halaman
luas rumah nenek setiap waktu kapanpun aku bisa main, bahkan dimalam hari.
Suatu hari, Dengan tongkat ranting kayu, aku
dan kakak menggambarkan bentuk ikan raksasa, seluas tanah halaman rumah
nenek, mungkin ukurannya 10m x20 m. Ayah datang dan memperhatikan gambar ikan
raksasa itu. lalu menarikku ke dekatnya.
“Gini cara gambar
ikan yang benar.” Ayah dengan jari telunjuk tangan kanannya menggambarkan di
tanah ikan kecil dengan bentuk yang lebih serupa dengan aslinya. Bukan seperti
yang aku gambar, hanya gabungan bentuk oval dan segitiga untuk sirip ekornya
lalu di bagian kepala ada garis lengkung untuk insangnya dan juga tidak pernah
lupa menggambar mata dan bibir ikan yang monyong. Aku mengingat itu sampai
sekarang.
“Itu ekornya gak
mungkin setipis itu kan? Dia akan ada dangingnya. Diana kan suka makan ikan,
masak gak tahu?”
“Oh iya.”
“Ada siripnya juga.”
Lantas aku dan kakak
memperbaiki gambar kami. Seketika selesai aku mulai berimajinasi. Karena itu
ikan raksaa, tubuh kecil kami menjadi mudah untuk dia telan hidup-hidup. Lantas
kamipun membuat cerita. Ikan itu menjadi tempat tinggal kami setelah kami
ditelan hidup-hidup. Kami mulai menggambar ruang-ruang.
“Disini kamar kakak
ya.” Kata kakaku sambil menarik garis batas di daerah perut ikan.
“Disini kamar Diana.”
Aku menarik garis di dekat kepala.
“Gak, boleh itu
ruang tamu.” Protes kakakku. “Itu dekat dengan pintu masuk, mulut ikan.”
“Oh di sini aja.”
Aku menggaris di sebelah kamar kakakku. “Disini dapur ya.” Batasku ke daerah
dekat ekor ikan. Lalu kami tertawa ria, memiliki rumah dalam perut ikan. Kami
punya rumah. Kami punya rumah dalam perut ikan. Ikan ini membawa kami keliling
lautan. Keliling alam bawah air yang luas yang sebenarnya hanyalah alam bawah
sadar kami.
Dalam imajinasi kami,
kami punya rumah. Tidak perlu menumpang rumah nenek lagi, kami punya rumah
dengan perabot dan tata letak yang kami suka. Ada TV gede dan berwarna, ada
kulkas besar, ada tempat tidur empuk dan lebih parahnya ada warna untuk kamar
kami, warna yang hanya menjadi imajiner di atas imajinasi. Seharian itu, ikan
itu adalah rumah kami. Tidur dalam imajinasi, makan, masak, bersih-bersih
rumah, nonton TV-pun dalam imajinasi.
Itu indah, sangat
indah saat punya mimpi. Aku bisa melupakan kenyataan saat aku punya mimpi.
Sehingga luka dan ketakutanku seolah-olah hilang walau sejenak. Tapi itu
hanyalah hidup dalam mimpi, belum menjadi hidup dengan mimpi. Sehingga ketika
gambar itu terhapus oleh angin atau oleh tapak-tapak kaki kami, rumah itu
hilang, ikan itu sudah mati dan kami miskin lagi. Terluka lagi.
Lalu permainan kami
menjadi lebih upgrade di hari depannya. Mulai mencari gardus-gardus
bekas di toko-toko kelontong, membuat ayah dan mimi sedikit malu tentunya. Kami
mulai membuat kemah-kemah kecil dan membentuk kembali ruang-ruang imajiner yang
lebih nyata. Mulai lagi memberi batas. Kali ini si Idan ikut, adikku yang saat itu
masih 3,5 tahun.
“Ini kamar Diana.”
“Warna merah
cobles.” Kalau sudah mengtakan kata-kata cobles, itu artinya sudah sah secara
hukum permainan, tidak ada yang bisa menghentikannya lagi, seperti barang
lelang yang sudah dibeli dengan harga tertinggi dan tidak bisa di tawar lagi.
Lalu kembali lagi,
kebahagiaan hidup dalam mimpi itu tidak abadi. Hujan turun di malam hari dan
gardus-gardus itu menjadi penyot dan tidak bisa dipakai lagi.
Beberapa waktu
setelah itu, kami masih dengan kegiatan sama, bermimpi. Hidup dalam mimpi dan bermain
dengan mimpi yang memang bukan bagian dari kenyataan. Maksudku, itu adalah mimpi
yang lebih mengerikan dari pada memimpikan untuk mendarat di bulan atau
memiliki pulau di hawai. Karena mimpi yang anak kecil bodoh seperti kami mainkan
adalah mimpi yang memang tidak bisa diwujudkan, mimpi yang tidak perlu di
wujudkan, karena memanglah mimpi yang tidak akan terwujud. Karena itu hanyalah
mimpi yang muncul untuk bermain, hanya untuk melupakan bahwa di rumah tidak ada
TV-besar dan warna, tidak ada kulkas, tidak ada kasur empuk, tidak ada kamar
sendiri, tidak ada rumah sendiri, dan hanya warna putih yang mengisolasi.
Permainanku setiap hari hanyalah bermimpi, mimpi untuk lupa kenyataan.
Akhirnya tiba
saatnya kakakku masuk TK, aku melihat mimi membelikannya sebuah tas ransel,
sepatu, dan lain sebagainya. Aku bertanya mengapa aku tidak dibelikan, lalu mimi
menjawab setelah kakakku maka aku.
Iya, aku pun tidak
begitu ambil pusing, toh aku tidak mengerti betul tentang benda-benda itu,
untuk apa rupanya.
“Kalau sudah TK,
nanti SD, terus SMP, Terus SMA dan kuliah terus kalau bisa S2 dan kerja. Kalau
punya cita-cita, wujudkan nya dari sekrang.”
Apalah itu mimi, aku
tidak seutuhnya mengerti saat itu.
Tapi amarahku
meledak tidak jelas. Saat kakakku dibelikan sebatang pensil warna merah jambu
sedangkan aku tidak. Aku menangis sekuat-kuatnya. Yang aku pikir adalah
sebatang pensil itu untuk menggambar, aku sangat suka menggambar. Sehingga aku
butuh pensil. Biasanya aku menggambar di tanah, dan juga pakai pulpen ayah dan mimi
kalau mau menggambar di buku-buku bekas pamanku atau di sampul-sampul depan
belakang buku perpustakaan pamanku yang saat itu adalah seorang pegawai bank,
yang pernah punya mimpi menjadi insiyur, alias sarjana teknik. Saat melihat
kakak memiliki pensil sedangkan aku masih pinjam alat itu dari ayah dan mimi,
aku kesal sekali.
Tentu mimi tidak
membelikannya karena aku mungkin tidak akan perlu, kan?
Sorenya Mimi
mengajakku ke warung sebelah rumah nenek, dan membelikan sebatang pensil
untukku. Yang tersisa saat itu hanyalah dua warna, merah dan hijau tua.
“Merah. Diana mau
yang merah.” Kataku dengan manja.
“Yang hijau aja.”
Kata mimiku dengan lembutnya.
“Gak mau...”
“Eh hijau aja ya...
kalau beli warna hijau, bisa mimpi indah.”
Kata-kata itu
menyihirku hingga sekarang. Warna hijau menjadi warna favorite-ku hanya karena sugesti mimiku. Mimpi indah. Walau tidak
mengerti betul tentang itu, walau tidak mengerti apa itu sebenanrnya, mendengar
kata mimpi indah aku ingin mendapatkannya.
Mulailah aku
mengejar mimpi indah. Maksudku, yang menjadi mimpiku saat itu adalah
mendapatkan mimpi indah. Tentu saja untuk anak sekecilku waktu itu, mimpiku ya
memimpikan mimpi indah, mimpiku adalah melihat mimpi indah di dalam tidurku.
Lalu aku mulai melihat benda-benda hijau sebelum tidur, berharap bisa dapat
mimpi indah. Mulai pakai baju warna hijau. dan sampai sekarangpun warna hijau
masih menglingkari diriku.
Begitu takutnya aku
jika dalam tidurpun aku merasakan kenyataan yang menyesakkanku setiap pagi
mataku terbuka.
“Walaupun menentangnya, dalam hati kita punya mimpi, punya
cita-cita yang kita ingin wujudkan. Siapapun kita dan apapun status sosial
kita, kita punya sesuatu untuk kita perjuangkan, untuk kita wujudkan. Kita
hanya ingin kebahagiaan. Tapi, walau punya mimpi, terkadang kita hanya tidak berani meyakinkan diri bahwa kita
memimpikannya. Kita takut dunia akan meledek karena mimpi kita bisa saja benar-benar
tidak sesuai dengan kenyataan hidup yang miskin. Itulah mimpi, dia bukan
sesuatu yang sama dengan kenyataan, tetapi dia bisa menjadi nyata.”
Karena dia miskin,
dia tidak berani walaupun untuk punya mimpi. Tapi walaupun dia miskin, bukan
berarti dia tidak punya mimpi. Justru karena dia miskin dia punya mimpi yang
besar, tapi karena dia miskin dia takut mengucapkan mimpinya, dia takut dengan
kenyataan jika mimpinya menjadi bahan tertawaaan orang lain. Karena itu dia
mejadi seolah-olah tidak berani walaupun untuk hanya punya mimpi.
Aku sudah memiliki
bakat menggambar sejak aku kecil, dan setiap hari terus ayah latih. Ayah
percaya dengan berkah dari Allah ini aku bisa hidup dengan mudah nantinya. Ayah
terus memberiku pelajaran-pelajaran berharga dari gambar, dimanapun beliau
menarik garis untuk menjelaskannya padaku, maka aku mengingatnya bagaikan
foto-foto yang bisa kembali aku gambarkan ke kertas putih. Namun, kepercayaan
yang ayah tuangkan padaku tidak bisa aku terapkan saat kakiku menapak di TK.
Latar belakang putri dari seorang pria kerja mocok-mocok saat itu, adalah salah
satu penghambatku. Diskriminasi yang tidak perlu dijari, tetapi anak-anak itu
sudah mengetahui cara terampuh untuk mempraktikkannya pada kami, objek-objek
yang malang dan tidak beruntung. Dengan
kulit hitam, badan kurus dan hidung beringus, siapa yang mau percaya jika
tangan kananku memiliki harta yang bisa mereka gunakan. Yang mereka tahu aku
hanyalah tidak berguna, begitu juga dengan guru-guru TK ku saat itu, semuanya
hanya tahu aku tidak berguna saat itu. Walau tugas mewarnaiku bagus, mereka
bilang itu bukan aku yang mengerjakannya, sehingga aku tidak pernah punya
kesempatan. Bahkan saat ada lomba melukis dan mewarnai, aku tidak akan di ambil
untuk perwakilan. Aku bahkan hanya bisa mengintip mereka yang sedang belajar
menggambar dari celah-celah batako yang lubang di bangunan kelas TK itu. Dan
membayangkan jika aku duduk disalah satu kursi di ruang itu, seolah aku punya
semua peralatan gambar seperti mereka, yang kenyataannya karyon milikiku saja
hanyalah pinjam dari kakak dan sudah patah-patah wujudnya.
Walaupun di akhir
tahun pembelajaran aku dipercayakan untuk membuka acara perpisahan dengan
pembacaan ayat suci Al-quran Surah Al-fatihah, itu sudah terlalu terlambat
untuk membangun masa indah TK-ku. Itu hari perpisahan, setelah hari itu mereka
tidak akan pernah berjumpa lagi denganku dan aku tidak akan di kenang. Aku
keluar dari TK tanpa seorang temanpun dan tanpa karakter yang terbentuk. Hal
serupa kembali terjadi di Madrasah Ibtidayah Negeri. Aku tidak mendapatkan
seorang teman yang baik pula, walaupun aku diterima di sekolah itu dengan nilai
terbaik dan masuk dalam sepuluh besar setiap caturwulannya. Aku terus tertutup
dari keberadaan anak-anak lain yang lebih beruntung, aku hanya tersingkirkan dengan
latar belakang miskinku. Kelas tiga adalah mulai dari tanjakkan hidupku.
Siapapun boleh menghina kemiskinanku, tapi jangan hina berkah yang tekah Allah
berikan padaku.
Aku memang tidak
begitu pintar menghitung, sehingga cercaan guru matematika sudah terlebih
dahulu memekakkan telingaku, tetapi seni aku hanya punya itu. Biarkan lah aku
baik walau hanya di satu sisi itu saja. Namun, aku menangis pulang ke rumah dan
mengadu pada ayah dan mimi. Lembar gambarku di tolak mentah-mentah karena
dinggap bukan hasil kerjaku. Karena aku tidak mengambar gunung dengan bentuk
segitiga sama sisi, dengan dua gunung itu mengapit matahari, tidak memberi mata
dan senyum pada si matahari. Tidak membuat jalan yang mengecil ke tengah bidang
gambar dan tidak melakukan hal yang seperti temanku lakukan. Aku bukan sekedar
belajar menggambar, aku sudah sering di bawa ayah untuk melihat gunung dan
pemandangan alam lainnya secara nyata dan mengambarkannya saat kami pulang
kampung ke Aceh Jaya. Sehingga dalam kenyataan aku tidak melihat matahari
diapit oleh gunung dan tersenyum dengan mata yang terbuka, tidak melihat gunung
dengan sisi rata dan sama persis. Dan gambarku, satu-satunya sumber kepercayaan
diriku di tolak oleh guruku sendiri.
Lalu mimi dan ayah
menasihatiku, mereka menyarankanku untuk meminta guruku itu melihat sendiri
saat aku menggambar. Minggu berikutnya aku sengaja meminta guruku itu melihatku
hanya aku dan beliau meluai percaya, guru wali kelasku itu akhirnya percaya.
Percaya. Kata itu mengubah kehidupanku, dengan sangat.
Setelah beliau
melihant sendiri dan mengakuinya, beliau mulai menyadari kehadiran anak bernama
Diana di kelasnya. Selanjutnya di mata pelajaran lain, beliau tidak lupa untuk
memberikanku kesempatan bertanya dan menjawab, sehingga aku terpacu untuk medalami
ilmu lain lebih kuat lagi, dan mulailah aku muncul ke permukaan, menunjukkan
diriku. Aku dengan cepat mengingat semua mata pelajaran lain, hanya karena
sebuah kata percaya. Aku selesai kelas tiga itu dengan nilai yang memuaskan.
Tapi... di kelas empat
sebuah pukulan berat harus kami terima, anak-anak miskin. Aku tidak tahu apa
yang salah dengan sistem di sekolahku saat itu, mulai berdatangan anak-anak
pindahan dari sekolah lain, dengan mobil orang tua mereka selalu terparkir di
jam-jam pagi dan siang. Aku tersingkir, tidak aku dan teman temanku yang
senasib, tersingkir ke sebuah kelas buruk dan terpuruk. Di kelas kecil, penggap
dekat parkir sepeda dan wc. Sebuah kelas dengan diding di kedua sisi, tiada
listrik, hanya satu jendela, kebanjiran dan sempit serta ada kecoa yang
berkeliaran, ukuran kelas itu hanya persegi panjang 4 mx9 m, dapat kuting dari
jumlah keramik ukuran 20 cm.
Kesedihanku
dikelompokkan demikian melenyapkan kepercayaanku pada guruku itu. Aku mulai
takut untuk bermimpi, karena tidak punya uang, bermimpi saja aku takut. Bukan
seperti mereka, karena punya uang mereka tidak perlu punya mimpi.
“Karena walaupun kau hebat, saat sosial memandangmu rendah,
kau kehilangan segala kepercayaan dirimu.”
Namun, Allah selalu
punya solusi yang terbaik. Tahun itu seorang guru berhati mulia dikirimkan
kepada kami, Pak Samsul Bahri seorang guru matematika sekaligus IPA. Begitu
terukir nama guruku itu. Begitu dalam kepercayaan yang beliau berikan kepada
kami. Beliau tumbuhkan rasa bangkit jiwa kami, beliau memiliki latar belakang
hidup mirip dengan kami dan beliau menceritakannya pada kami. Aku kembali maju
dengan menggenggam nama guruku, nama guru yang peduli pada anak seperti kami.
Dan alhasil aku menjuarai banyak bidang lomba dan mulai mengangkat namaku.
Sebuah kepercayaan memberiku kesempatan untuk mengubah kehidupanku. Beliau
percaya mimpi yang terwujud adalah timbal balik dari usaha yang kita lakukan,
kebahagiaan yang kita dapat juga sepadan bahkan lebih dari penderitaan yang
sudah kita rasakan. Tiada kebahagiaan, tidak akan pernah ada kata itu jika
tidak ada penderitaan. Kita tidak akan pernah tahu suatu itu apa dan bagaimana
rasanya jika tidak ada pembandingnya.
Tsunamipun terjadi
di ujung semester ganjil, suatu sapuan besar yang membangkitkan Aceh. duka
besar itu juga menjalar ke keluargaku, suatu alasan untuk semakin bangkit.
Konflik berhenti dan Aceh mulai membangun kembali dari keterburukan. Dan saat
itulah aku berani mempunyai mimpi, berani melihat ke masa depan tanpa peduli
seberapa rendahnya tingkat sosialku saat itu. aku mendapat kepercayaan besar di
masa-masa itu. Saat menyaksikan kota kecil Lhokseumawe yang dikelilingi lautan
selamat dari gelombang besar yang hendak meluluh lantakkan dari arah barat
kota. Ombak itu terbelah dua setelah mendengar azan berkumandang, ke kiri dan
kenan. Hatiku saat itu menyadari kekuasaan Allah sungguh tiada tandingan. Aku
mulai percaya segala seuatu pasti ada alasan kenapa dia hadir dan menghilang.
Aceh bangkit dan
mulai muncul bangunan-bangunan baru yang aneh untuk kami mengerti saat itu.
wujud megah indah dan modern itu tampil di pusat kota dan juga mengantikan
bangunan-bangunan lama, dan walaupun kota kami tidak mengalami kerusakan,
efeknya juga sama. bangunan-bangunan indah itu membuatku tertarik dan bertanya pada
ayah.
“Arsitek.” Kata itu
telah menjadi cita-citaku semenjak ayah mengucapkannya. Aku mulai berani
melawan kesulitan hidup kami, aku mulai berani mencita-citakan mimpi itu. Terlebih
setelah mendapat penghargaan atas gambar-gambarku dan atas kepercayaan
guru-guruku saat itu yang mulai menyadariku. Aku ingin menjadi seorang arsitek.
Lantas, ayah walaupun terlihat tidak begitu menyetujuinya saat itu tetap
membantuku untuk mempelajari hal-hal yang terkait dengan dunia arsitektur.
Walaupun beliau ingin kami anak-anak beliau menjadi seorang pengajar seperti mimi
dan juga perkerjaan baru ayah beliau tidak pernah menutup telinga untuk
mendengar kami. Beliau mengajakku melihat gedung-gedung baru itu, mejelaskan
padaku fungsi-fungsi struktur, mengajakku ikut mengolah benda-benda tidak terpakai
lagi menjadi benda yang lebih berharga untuk mengasah kreatifitasku dan juga
tetap mengajarkanku menggambar dan desain.
Tahun terus berlalu
dan kehidupan kami mulai lebih baik, ayah dan mimi merencanakan untuk membangun
rumah baru, rumah sendiri bukan sewa. Saat itu dunia arsitektur benar-benar
ayah biarkan aku merasakannya. Ayah memperlihatkan denah dan detail gambar
rumah yang dirancangnya, beliau juga menjelaskan hal-hal yang harus
diperhatikan saat mendeasin rumah, aku baru kelas enam saat itu. Bahkan
mempercayakanku untuk mengambarkan desain tampak rumah kami, rumah baru kami
saat itu. Tidak berhenti di situ ayah mengujiku dan kakakku untuk menggambarkan
interior rumah dan tentu saja bangian itu sangat menarik untukku.
“Percaya, kata itu telah menyihirku seluruh tubuhku untuk
yakin dalam melangkah. Ketika kepercayaan aku dapatkan, semua alasan-alasan
untuk mundur tiba-tiba lenyap.”
“Terkadang yang kita butuhkan hanyalah sebuah kesempatan,
dan kesempatan itu berawal dari percaya dan percaya itupun muncul karena kita
memang patut untuk dipercaya. Perasaan memiliki orang yang percaya pada kita
akan membukakan pintu-pintu kesuksesan. Karena itu mulailah membuat orang lain
percaya pada potensi Anda, buatlah diri Anda berhak untuk dipercaya dan jangan
lupa berilah kepercayaan pada mereka yang pantas mendapatkannya. Karena Anda
tidak pernah tahu pintu terbaik apa yang akan terbuka di dalam kehidupannya.
Dan Anda juga tidak tahu bagaimana dia berdoa setiap langkahnya kepada Allah untuk
Anda, untuk Anda yang telah memberinya hak untuk dilihat, untuk di dengar,
untuk dipahami, untuk dipercaya.”
Ayah walaupun mengajariku tentang arsitektur, beliau tidak berani
meyakinkan dirinya bahwa aku akan mengambil langkah itu. Karena Ayah takut memberi
harapan palsu untukku. Tapi aku tidak perlu memikirkan hal lain. Terlebih lagi
aku juga tidak punya keberanian untuk bermimpi sebelumnya, sehingga aku hanya
berjalan dengan keraguan sampai aku benar-benar menyentak dunia sekitarku bahwa
aku akan menjadi seorang arsitek, mimpi yang muncul setelah Tsunami datang.
Jiwaku dan tubuhku secara otomatis bersemangat untuk hari depan, aku akan jadi
arsitek. Itulah kata yang selalu aku adukan pada Allah disetiap doaku dan di
setiap saat lingkungan menjatuhkanku. Aku paham alasan-alasan mereka
merendahkan cita-cita tinggi itu tapi aku tidak akan pernah paham mengapa
mereka hendak melarang mimpiku untuk membahagiakan orangtuaku dan orang orang
yang aku cintai lainnya. Karena tiada hal bisa aku impikan selain itu saat itu,
maksudku, untuk mewujudkan kebahagian dunia akhirat aku dan keluargaku juga
orang-orang berpengaruh padaku aku hanya tahu cara itu saat itu. tiada yang
bisa aku mimpikan selain itu. aku merasa tertantang dengan dunia itu,
arsitektur.
Walaupun tidak dapat dukungan penuh yang menyetujuinya secara utuh, aku
percaya aku hanya perlu mencari bukti. Walau kata-kata orang di sekitar
menyiksaku, aku hanya perlu bukti, bukti itu harus aku temukan dan bukti itu
harus aku tunjukkan pada mereka. Aku terus-terusan membuat teori yang
membahagiakanku, teori-teori untuk menjawab semua omongan mereka, teori yang
akan memperkuat anak tanggaku menuju harapan yang ingin aku wujudkan.
Aku hanya ingin bahagia dengan cita-citaku yang membanggakan orang tuaku
dan orang disekitarku serta menjalankan amanah Allah atas bakat yang telah
dititipkan padaku. Dan walaupun itu bukan di Aceh, aku akan pergi asalkan aku
akan memberi kebahagiaan bagi orang-orang yang aku cintai. Aku ingin walau
mereka hanya mendengar namaku, atau nama-nama orang lain yang serupa denganku
mereka bisa merasa bahwa aku ada dan berarti lebih untuk mereka, dan walaupun
itu bukan namaku, setidaknya saat mereka melihat bangunan, mereka tinggal di
rumah, mereka tahu arsitektur, mereka setidaknya merasa bahwa aku dan dunia
tempat aku berlabu adalah dunia yang dekat dengan mereka. Mereka mengingatku,
bangga karena kehadiranku dalam hidup mereka dan mereka bahagia.
Dari tangan kecilku,
aku berani bermimpi.
Dari tangan kecilku,
aku berani punya mimpi.
Dan dari tangan
kecilku, aku berani membangun mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mau berkomentar?
Silahkan tapi jagan bikin sakit hati ya...