Rabu, 13 April 2016

Cerpen Inspiratif Kisah Nyata : "DARI TANGAN KECILKU"


Dari Tangan Kecilku

Oleh: Ana Raihan Putri

       
“Walaupun Anda tidak punya waktu, ketika Anda percaya dia mampu, Anda telah membuka kesempatan besar untuknya, suatu kepercayaan kecil membuka dunia baru untuknya, dunia yang lebih cerah, dunia yang dia bisa hidup lebih bahagia.”
Karena dia seorang miskin, bermimpipun dia tidak berani.”
“Karena dia seorang miskin, mimpi buruk dalam tidurnya jauh lebih indah dari kenyataan.”
Waktu aku kecil, pada malam hari sebelum tidur, mimi pasti akan bercerita tentang kisah-kisah nabi dan sesekali kisah-kisah binatang-binatang yang dilagendakan. Mimi bilang itu agar kami punya mimpi yang indah, mimpi indah dalam tidur. Itu luar biasa, aku selalu ingin punya alasan untuk tidur, agar aku bisa melihat mimpi, mana tahu ada mimpi indah dan walaupun bermimpi buruk, aku tidak apa-apa, aku tidak terluka dan tidak merasa sakit. Walau ada ketakutan, saat aku membuka mata, ada kenyataan yang lebih sakit, sehingga kalaupun aku mimpi buruk, aku tidak apa-apa karena itu bukan kenyataan yang bisa aku rasakan.
“Aku lebih suka tidur dari pada punya kenyataan. Karena aku mungkin bisa punya mimpi indah.”
Waktu kecil, sebelum aku TK, bermimpi untuk sebuah kenyataan bukanlah hal yang dengan mudah bisa aku lakukan. Aku tidak pernah berpikir lebih baik, aku pikir karena ayah dan mimi tidak punya uang, aku tidak akan bisa mewujudkan mimpiku, jika aku punya mimpi. Karena itu aku memilih untuk tidak punya mimpi, maka aku tidak perlu bersedih jika itu tidak terwujud dan tentu saja aku tidak akan repot untuk memikirkannya.
Teman-teman sepermainan semuanya punya mimpi, ingin jadi pilot, dokter, guru, presiden dan sebagainya. Lalu, yang bisa aku lakukan hanyalah bermain. Bermain di halaman luas rumah nenek setiap waktu kapanpun aku bisa main, bahkan dimalam hari. Suatu hari, Dengan tongkat ranting kayu, aku  dan kakak menggambarkan bentuk ikan raksasa, seluas tanah halaman rumah nenek, mungkin ukurannya 10m x20 m. Ayah datang dan memperhatikan gambar ikan raksasa itu. lalu menarikku ke dekatnya.
“Gini cara gambar ikan yang benar.” Ayah dengan jari telunjuk tangan kanannya menggambarkan di tanah ikan kecil dengan bentuk yang lebih serupa dengan aslinya. Bukan seperti yang aku gambar, hanya gabungan bentuk oval dan segitiga untuk sirip ekornya lalu di bagian kepala ada garis lengkung untuk insangnya dan juga tidak pernah lupa menggambar mata dan bibir ikan yang monyong. Aku mengingat itu sampai sekarang.
“Itu ekornya gak mungkin setipis itu kan? Dia akan ada dangingnya. Diana kan suka makan ikan, masak gak tahu?”
“Oh iya.”
“Ada siripnya juga.”
Lantas aku dan kakak memperbaiki gambar kami. Seketika selesai aku mulai berimajinasi. Karena itu ikan raksaa, tubuh kecil kami menjadi mudah untuk dia telan hidup-hidup. Lantas kamipun membuat cerita. Ikan itu menjadi tempat tinggal kami setelah kami ditelan hidup-hidup. Kami mulai menggambar ruang-ruang.
“Disini kamar kakak ya.” Kata kakaku sambil menarik garis batas di daerah perut ikan.
“Disini kamar Diana.” Aku menarik garis di dekat kepala.
“Gak, boleh itu ruang tamu.” Protes kakakku. “Itu dekat dengan pintu masuk, mulut ikan.”
“Oh di sini aja.” Aku menggaris di sebelah kamar kakakku. “Disini dapur ya.” Batasku ke daerah dekat ekor ikan. Lalu kami tertawa ria, memiliki rumah dalam perut ikan. Kami punya rumah. Kami punya rumah dalam perut ikan. Ikan ini membawa kami keliling lautan. Keliling alam bawah air yang luas yang sebenarnya hanyalah alam bawah sadar kami.
Dalam imajinasi kami, kami punya rumah. Tidak perlu menumpang rumah nenek lagi, kami punya rumah dengan perabot dan tata letak yang kami suka. Ada TV gede dan berwarna, ada kulkas besar, ada tempat tidur empuk dan lebih parahnya ada warna untuk kamar kami, warna yang hanya menjadi imajiner di atas imajinasi. Seharian itu, ikan itu adalah rumah kami. Tidur dalam imajinasi, makan, masak, bersih-bersih rumah, nonton TV-pun dalam imajinasi.
Itu indah, sangat indah saat punya mimpi. Aku bisa melupakan kenyataan saat aku punya mimpi. Sehingga luka dan ketakutanku seolah-olah hilang walau sejenak. Tapi itu hanyalah hidup dalam mimpi, belum menjadi hidup dengan mimpi. Sehingga ketika gambar itu terhapus oleh angin atau oleh tapak-tapak kaki kami, rumah itu hilang, ikan itu sudah mati dan kami miskin lagi. Terluka lagi.
Lalu permainan kami menjadi lebih upgrade  di hari depannya. Mulai mencari gardus-gardus bekas di toko-toko kelontong, membuat ayah dan mimi sedikit malu tentunya. Kami mulai membuat kemah-kemah kecil dan membentuk kembali ruang-ruang imajiner yang lebih nyata. Mulai lagi memberi batas. Kali ini si Idan ikut, adikku yang saat itu masih 3,5 tahun.
“Ini kamar Diana.”
“Warna merah cobles.” Kalau sudah mengtakan kata-kata cobles, itu artinya sudah sah secara hukum permainan, tidak ada yang bisa menghentikannya lagi, seperti barang lelang yang sudah dibeli dengan harga tertinggi dan tidak bisa di tawar lagi.
Lalu kembali lagi, kebahagiaan hidup dalam mimpi itu tidak abadi. Hujan turun di malam hari dan gardus-gardus itu menjadi penyot dan tidak bisa dipakai lagi.
Beberapa waktu setelah itu, kami masih dengan kegiatan sama, bermimpi. Hidup dalam mimpi dan bermain dengan mimpi yang memang bukan bagian dari kenyataan. Maksudku, itu adalah mimpi yang lebih mengerikan dari pada memimpikan untuk mendarat di bulan atau memiliki pulau di hawai. Karena mimpi yang anak kecil bodoh seperti kami mainkan adalah mimpi yang memang tidak bisa diwujudkan, mimpi yang tidak perlu di wujudkan, karena memanglah mimpi yang tidak akan terwujud. Karena itu hanyalah mimpi yang muncul untuk bermain, hanya untuk melupakan bahwa di rumah tidak ada TV-besar dan warna, tidak ada kulkas, tidak ada kasur empuk, tidak ada kamar sendiri, tidak ada rumah sendiri, dan hanya warna putih yang mengisolasi. Permainanku setiap hari hanyalah bermimpi, mimpi untuk lupa kenyataan.
Akhirnya tiba saatnya kakakku masuk TK, aku melihat mimi membelikannya sebuah tas ransel, sepatu, dan lain sebagainya. Aku bertanya mengapa aku tidak dibelikan, lalu mimi menjawab setelah kakakku maka aku.
Iya, aku pun tidak begitu ambil pusing, toh aku tidak mengerti betul tentang benda-benda itu, untuk apa rupanya.
“Kalau sudah TK, nanti SD, terus SMP, Terus SMA dan kuliah terus kalau bisa S2 dan kerja. Kalau punya cita-cita, wujudkan nya dari sekrang.”
Apalah itu mimi, aku tidak seutuhnya mengerti saat itu.
Tapi amarahku meledak tidak jelas. Saat kakakku dibelikan sebatang pensil warna merah jambu sedangkan aku tidak. Aku menangis sekuat-kuatnya. Yang aku pikir adalah sebatang pensil itu untuk menggambar, aku sangat suka menggambar. Sehingga aku butuh pensil. Biasanya aku menggambar di tanah, dan juga pakai pulpen ayah dan mimi kalau mau menggambar di buku-buku bekas pamanku atau di sampul-sampul depan belakang buku perpustakaan pamanku yang saat itu adalah seorang pegawai bank, yang pernah punya mimpi menjadi insiyur, alias sarjana teknik. Saat melihat kakak memiliki pensil sedangkan aku masih pinjam alat itu dari ayah dan mimi, aku kesal sekali.
Tentu mimi tidak membelikannya karena aku mungkin tidak akan perlu, kan?
Sorenya Mimi mengajakku ke warung sebelah rumah nenek, dan membelikan sebatang pensil untukku. Yang tersisa saat itu hanyalah dua warna, merah dan hijau tua.
“Merah. Diana mau yang merah.” Kataku dengan manja.
“Yang hijau aja.” Kata mimiku dengan lembutnya.
“Gak mau...”
“Eh hijau aja ya... kalau beli warna hijau, bisa mimpi indah.”
Kata-kata itu menyihirku hingga sekarang. Warna hijau menjadi warna favorite-ku hanya karena sugesti mimiku. Mimpi indah. Walau tidak mengerti betul tentang itu, walau tidak mengerti apa itu sebenanrnya, mendengar kata mimpi indah aku ingin mendapatkannya.
Mulailah aku mengejar mimpi indah. Maksudku, yang menjadi mimpiku saat itu adalah mendapatkan mimpi indah. Tentu saja untuk anak sekecilku waktu itu, mimpiku ya memimpikan mimpi indah, mimpiku adalah melihat mimpi indah di dalam tidurku. Lalu aku mulai melihat benda-benda hijau sebelum tidur, berharap bisa dapat mimpi indah. Mulai pakai baju warna hijau. dan sampai sekarangpun warna hijau masih menglingkari diriku.
Begitu takutnya aku jika dalam tidurpun aku merasakan kenyataan yang menyesakkanku setiap pagi mataku terbuka.
“Walaupun menentangnya, dalam hati kita punya mimpi, punya cita-cita yang kita ingin wujudkan. Siapapun kita dan apapun status sosial kita, kita punya sesuatu untuk kita perjuangkan, untuk kita wujudkan. Kita hanya ingin kebahagiaan. Tapi, walau punya mimpi, terkadang  kita hanya tidak berani meyakinkan diri bahwa kita memimpikannya. Kita takut dunia akan meledek karena mimpi kita bisa saja benar-benar tidak sesuai dengan kenyataan hidup yang miskin. Itulah mimpi, dia bukan sesuatu yang sama dengan kenyataan, tetapi dia bisa menjadi nyata.”
Karena dia miskin, dia tidak berani walaupun untuk punya mimpi. Tapi walaupun dia miskin, bukan berarti dia tidak punya mimpi. Justru karena dia miskin dia punya mimpi yang besar, tapi karena dia miskin dia takut mengucapkan mimpinya, dia takut dengan kenyataan jika mimpinya menjadi bahan tertawaaan orang lain. Karena itu dia mejadi seolah-olah tidak berani walaupun untuk hanya punya mimpi.
Aku sudah memiliki bakat menggambar sejak aku kecil, dan setiap hari terus ayah latih. Ayah percaya dengan berkah dari Allah ini aku bisa hidup dengan mudah nantinya. Ayah terus memberiku pelajaran-pelajaran berharga dari gambar, dimanapun beliau menarik garis untuk menjelaskannya padaku, maka aku mengingatnya bagaikan foto-foto yang bisa kembali aku gambarkan ke kertas putih. Namun, kepercayaan yang ayah tuangkan padaku tidak bisa aku terapkan saat kakiku menapak di TK. Latar belakang putri dari seorang pria kerja mocok-mocok saat itu, adalah salah satu penghambatku. Diskriminasi yang tidak perlu dijari, tetapi anak-anak itu sudah mengetahui cara terampuh untuk mempraktikkannya pada kami, objek-objek yang malang dan tidak beruntung.  Dengan kulit hitam, badan kurus dan hidung beringus, siapa yang mau percaya jika tangan kananku memiliki harta yang bisa mereka gunakan. Yang mereka tahu aku hanyalah tidak berguna, begitu juga dengan guru-guru TK ku saat itu, semuanya hanya tahu aku tidak berguna saat itu. Walau tugas mewarnaiku bagus, mereka bilang itu bukan aku yang mengerjakannya, sehingga aku tidak pernah punya kesempatan. Bahkan saat ada lomba melukis dan mewarnai, aku tidak akan di ambil untuk perwakilan. Aku bahkan hanya bisa mengintip mereka yang sedang belajar menggambar dari celah-celah batako yang lubang di bangunan kelas TK itu. Dan membayangkan jika aku duduk disalah satu kursi di ruang itu, seolah aku punya semua peralatan gambar seperti mereka, yang kenyataannya karyon milikiku saja hanyalah pinjam dari kakak dan sudah patah-patah wujudnya.
Walaupun di akhir tahun pembelajaran aku dipercayakan untuk membuka acara perpisahan dengan pembacaan ayat suci Al-quran Surah Al-fatihah, itu sudah terlalu terlambat untuk membangun masa indah TK-ku. Itu hari perpisahan, setelah hari itu mereka tidak akan pernah berjumpa lagi denganku dan aku tidak akan di kenang. Aku keluar dari TK tanpa seorang temanpun dan tanpa karakter yang terbentuk. Hal serupa kembali terjadi di Madrasah Ibtidayah Negeri. Aku tidak mendapatkan seorang teman yang baik pula, walaupun aku diterima di sekolah itu dengan nilai terbaik dan masuk dalam sepuluh besar setiap caturwulannya. Aku terus tertutup dari keberadaan anak-anak lain yang lebih beruntung, aku hanya tersingkirkan dengan latar belakang miskinku. Kelas tiga adalah mulai dari tanjakkan hidupku. Siapapun boleh menghina kemiskinanku, tapi jangan hina berkah yang tekah Allah berikan padaku.
Aku memang tidak begitu pintar menghitung, sehingga cercaan guru matematika sudah terlebih dahulu memekakkan telingaku, tetapi seni aku hanya punya itu. Biarkan lah aku baik walau hanya di satu sisi itu saja. Namun, aku menangis pulang ke rumah dan mengadu pada ayah dan mimi. Lembar gambarku di tolak mentah-mentah karena dinggap bukan hasil kerjaku. Karena aku tidak mengambar gunung dengan bentuk segitiga sama sisi, dengan dua gunung itu mengapit matahari, tidak memberi mata dan senyum pada si matahari. Tidak membuat jalan yang mengecil ke tengah bidang gambar dan tidak melakukan hal yang seperti temanku lakukan. Aku bukan sekedar belajar menggambar, aku sudah sering di bawa ayah untuk melihat gunung dan pemandangan alam lainnya secara nyata dan mengambarkannya saat kami pulang kampung ke Aceh Jaya. Sehingga dalam kenyataan aku tidak melihat matahari diapit oleh gunung dan tersenyum dengan mata yang terbuka, tidak melihat gunung dengan sisi rata dan sama persis. Dan gambarku, satu-satunya sumber kepercayaan diriku di tolak oleh guruku sendiri.
Lalu mimi dan ayah menasihatiku, mereka menyarankanku untuk meminta guruku itu melihat sendiri saat aku menggambar. Minggu berikutnya aku sengaja meminta guruku itu melihatku hanya aku dan beliau meluai percaya, guru wali kelasku itu akhirnya percaya. Percaya. Kata itu mengubah kehidupanku, dengan sangat.
Setelah beliau melihant sendiri dan mengakuinya, beliau mulai menyadari kehadiran anak bernama Diana di kelasnya. Selanjutnya di mata pelajaran lain, beliau tidak lupa untuk memberikanku kesempatan bertanya dan menjawab, sehingga aku terpacu untuk medalami ilmu lain lebih kuat lagi, dan mulailah aku muncul ke permukaan, menunjukkan diriku. Aku dengan cepat mengingat semua mata pelajaran lain, hanya karena sebuah kata percaya. Aku selesai kelas tiga itu dengan nilai yang memuaskan.
Tapi... di kelas empat sebuah pukulan berat harus kami terima, anak-anak miskin. Aku tidak tahu apa yang salah dengan sistem di sekolahku saat itu, mulai berdatangan anak-anak pindahan dari sekolah lain, dengan mobil orang tua mereka selalu terparkir di jam-jam pagi dan siang. Aku tersingkir, tidak aku dan teman temanku yang senasib, tersingkir ke sebuah kelas buruk dan terpuruk. Di kelas kecil, penggap dekat parkir sepeda dan wc. Sebuah kelas dengan diding di kedua sisi, tiada listrik, hanya satu jendela, kebanjiran dan sempit serta ada kecoa yang berkeliaran, ukuran kelas itu hanya persegi panjang 4 mx9 m, dapat kuting dari jumlah keramik ukuran 20 cm.
Kesedihanku dikelompokkan demikian melenyapkan kepercayaanku pada guruku itu. Aku mulai takut untuk bermimpi, karena tidak punya uang, bermimpi saja aku takut. Bukan seperti mereka, karena punya uang mereka tidak perlu punya mimpi.
“Karena walaupun kau hebat, saat sosial memandangmu rendah, kau kehilangan segala kepercayaan dirimu.”
Namun, Allah selalu punya solusi yang terbaik. Tahun itu seorang guru berhati mulia dikirimkan kepada kami, Pak Samsul Bahri seorang guru matematika sekaligus IPA. Begitu terukir nama guruku itu. Begitu dalam kepercayaan yang beliau berikan kepada kami. Beliau tumbuhkan rasa bangkit jiwa kami, beliau memiliki latar belakang hidup mirip dengan kami dan beliau menceritakannya pada kami. Aku kembali maju dengan menggenggam nama guruku, nama guru yang peduli pada anak seperti kami. Dan alhasil aku menjuarai banyak bidang lomba dan mulai mengangkat namaku. Sebuah kepercayaan memberiku kesempatan untuk mengubah kehidupanku. Beliau percaya mimpi yang terwujud adalah timbal balik dari usaha yang kita lakukan, kebahagiaan yang kita dapat juga sepadan bahkan lebih dari penderitaan yang sudah kita rasakan. Tiada kebahagiaan, tidak akan pernah ada kata itu jika tidak ada penderitaan. Kita tidak akan pernah tahu suatu itu apa dan bagaimana rasanya jika tidak ada pembandingnya.
Tsunamipun terjadi di ujung semester ganjil, suatu sapuan besar yang membangkitkan Aceh. duka besar itu juga menjalar ke keluargaku, suatu alasan untuk semakin bangkit. Konflik berhenti dan Aceh mulai membangun kembali dari keterburukan. Dan saat itulah aku berani mempunyai mimpi, berani melihat ke masa depan tanpa peduli seberapa rendahnya tingkat sosialku saat itu. aku mendapat kepercayaan besar di masa-masa itu. Saat menyaksikan kota kecil Lhokseumawe yang dikelilingi lautan selamat dari gelombang besar yang hendak meluluh lantakkan dari arah barat kota. Ombak itu terbelah dua setelah mendengar azan berkumandang, ke kiri dan kenan. Hatiku saat itu menyadari kekuasaan Allah sungguh tiada tandingan. Aku mulai percaya segala seuatu pasti ada alasan kenapa dia hadir dan menghilang.
Aceh bangkit dan mulai muncul bangunan-bangunan baru yang aneh untuk kami mengerti saat itu. wujud megah indah dan modern itu tampil di pusat kota dan juga mengantikan bangunan-bangunan lama, dan walaupun kota kami tidak mengalami kerusakan, efeknya juga sama. bangunan-bangunan indah itu membuatku tertarik dan bertanya pada ayah.
“Arsitek.” Kata itu telah menjadi cita-citaku semenjak ayah mengucapkannya. Aku mulai berani melawan kesulitan hidup kami, aku mulai berani mencita-citakan mimpi itu. Terlebih setelah mendapat penghargaan atas gambar-gambarku dan atas kepercayaan guru-guruku saat itu yang mulai menyadariku. Aku ingin menjadi seorang arsitek. Lantas, ayah walaupun terlihat tidak begitu menyetujuinya saat itu tetap membantuku untuk mempelajari hal-hal yang terkait dengan dunia arsitektur. Walaupun beliau ingin kami anak-anak beliau menjadi seorang pengajar seperti mimi dan juga perkerjaan baru ayah beliau tidak pernah menutup telinga untuk mendengar kami. Beliau mengajakku melihat gedung-gedung baru itu, mejelaskan padaku fungsi-fungsi struktur, mengajakku ikut mengolah benda-benda tidak terpakai lagi menjadi benda yang lebih berharga untuk mengasah kreatifitasku dan juga tetap mengajarkanku menggambar dan desain.
Tahun terus berlalu dan kehidupan kami mulai lebih baik, ayah dan mimi merencanakan untuk membangun rumah baru, rumah sendiri bukan sewa. Saat itu dunia arsitektur benar-benar ayah biarkan aku merasakannya. Ayah memperlihatkan denah dan detail gambar rumah yang dirancangnya, beliau juga menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan saat mendeasin rumah, aku baru kelas enam saat itu. Bahkan mempercayakanku untuk mengambarkan desain tampak rumah kami, rumah baru kami saat itu. Tidak berhenti di situ ayah mengujiku dan kakakku untuk menggambarkan interior rumah dan tentu saja bangian itu sangat menarik untukku.
“Percaya, kata itu telah menyihirku seluruh tubuhku untuk yakin dalam melangkah. Ketika kepercayaan aku dapatkan, semua alasan-alasan untuk mundur tiba-tiba lenyap.”
“Terkadang yang kita butuhkan hanyalah sebuah kesempatan, dan kesempatan itu berawal dari percaya dan percaya itupun muncul karena kita memang patut untuk dipercaya. Perasaan memiliki orang yang percaya pada kita akan membukakan pintu-pintu kesuksesan. Karena itu mulailah membuat orang lain percaya pada potensi Anda, buatlah diri Anda berhak untuk dipercaya dan jangan lupa berilah kepercayaan pada mereka yang pantas mendapatkannya. Karena Anda tidak pernah tahu pintu terbaik apa yang akan terbuka di dalam kehidupannya. Dan Anda juga tidak tahu bagaimana dia berdoa setiap langkahnya kepada Allah untuk Anda, untuk Anda yang telah memberinya hak untuk dilihat, untuk di dengar, untuk dipahami, untuk dipercaya.”
Ayah walaupun mengajariku tentang arsitektur, beliau tidak berani meyakinkan dirinya bahwa aku akan mengambil langkah itu. Karena Ayah takut memberi harapan palsu untukku. Tapi aku tidak perlu memikirkan hal lain. Terlebih lagi aku juga tidak punya keberanian untuk bermimpi sebelumnya, sehingga aku hanya berjalan dengan keraguan sampai aku benar-benar menyentak dunia sekitarku bahwa aku akan menjadi seorang arsitek, mimpi yang muncul setelah Tsunami datang. Jiwaku dan tubuhku secara otomatis bersemangat untuk hari depan, aku akan jadi arsitek. Itulah kata yang selalu aku adukan pada Allah disetiap doaku dan di setiap saat lingkungan menjatuhkanku. Aku paham alasan-alasan mereka merendahkan cita-cita tinggi itu tapi aku tidak akan pernah paham mengapa mereka hendak melarang mimpiku untuk membahagiakan orangtuaku dan orang orang yang aku cintai lainnya. Karena tiada hal bisa aku impikan selain itu saat itu, maksudku, untuk mewujudkan kebahagian dunia akhirat aku dan keluargaku juga orang-orang berpengaruh padaku aku hanya tahu cara itu saat itu. tiada yang bisa aku mimpikan selain itu. aku merasa tertantang dengan dunia itu, arsitektur.
Walaupun tidak dapat dukungan penuh yang menyetujuinya secara utuh, aku percaya aku hanya perlu mencari bukti. Walau kata-kata orang di sekitar menyiksaku, aku hanya perlu bukti, bukti itu harus aku temukan dan bukti itu harus aku tunjukkan pada mereka. Aku terus-terusan membuat teori yang membahagiakanku, teori-teori untuk menjawab semua omongan mereka, teori yang akan memperkuat anak tanggaku menuju harapan yang ingin aku wujudkan.
Aku hanya ingin bahagia dengan cita-citaku yang membanggakan orang tuaku dan orang disekitarku serta menjalankan amanah Allah atas bakat yang telah dititipkan padaku. Dan walaupun itu bukan di Aceh, aku akan pergi asalkan aku akan memberi kebahagiaan bagi orang-orang yang aku cintai. Aku ingin walau mereka hanya mendengar namaku, atau nama-nama orang lain yang serupa denganku mereka bisa merasa bahwa aku ada dan berarti lebih untuk mereka, dan walaupun itu bukan namaku, setidaknya saat mereka melihat bangunan, mereka tinggal di rumah, mereka tahu arsitektur, mereka setidaknya merasa bahwa aku dan dunia tempat aku berlabu adalah dunia yang dekat dengan mereka. Mereka mengingatku, bangga karena kehadiranku dalam hidup mereka dan mereka bahagia.
Dari tangan kecilku, aku berani bermimpi.
Dari tangan kecilku, aku berani punya mimpi.
Dan dari tangan kecilku, aku berani membangun mimpi.


Ana Raihan Putri Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mau berkomentar?
Silahkan tapi jagan bikin sakit hati ya...